RSS
Penjual Jamu Gendong
Penjual Jamu Gendong: Antara Tradisi dan Profesi

Corah Sinulingga
10606014
Maha Dewi Widayaningsih
10606042
Puji Astuti
10606060


4SA01


Universitas Gunadarma


ABSTRAK
Jamu merupakan salah satu warisan budaya tradisional di Indonesia, khususnya masyarakat Jawa. Masih banyak orang yang meminum jamu sebagai salah satu pengobatan tradisional yang terbukti berkhasiat. Menjual jamu dengan digendong adalah satu cara dari beragam upaya untuk menjual jamu kepada masyarakat. Penjual jamu biasanya menjual dagangannya dengan ramuan yang hampir sama, yang biasanya terdiri dari delapan jenis ramuan seperti beras kencur, cabe puyang, kudu laos, kunci suruh, uyup-uyup atau gepyokan, kunir asam, pahitan, dan sinom.
Berikut ini adalah sebuah penelitian etnografi yang dilakukan dengan mewawancarai seorang penjual jamu gendong.

1. Pendahuluan
Etnografi berasal dari kata etno yang berarti bangsa, graphi berarti menguraikan atau menggambarkan. Etnografi merupakan ragam pemaparan penelitian budaya untuk memahami cara orang berinteraksi dan bekerja sama melalui fenomena yang teramati dalam kehidupan sehari-hari.
Etnografi merupakan pekerjaan mendeskripsikan kebudayaan. Tujuan utama aktifitas ini adalah memahami suatu pandangan hidup dari sudut pandang asli. Etnografi tidak hanya mempelajari masyarakat, lebih dari itu etnografi berarti belajar dari masyarakat. Para peneliti pada tahap awal menjadi orang yang dibimbing oleh masyarakat, karena tanpa belajar dari masyarakat tentu peneliti akan susah untuk beradaptasi. Oleh karena itu, peneliti ingin mengaitkan kebudayaan yang ada pada penjual jamu gendong dengan penelitian etnografi.

2. Isi
Jamu adalah sebutan untuk obat tradisional yang berasal dari Indonesia. Jamu merupakan ramuan yang dibuat unuk menyebahtkan badan hilangkan penghilang rasa sakit dan digunakan secara turun temurun serta dipercaya berkhasiat. Jamu dibuat dari bahan-bahan alami, berupa bagian dari tumbuhan seperti akar-akaran, daun-daunan dan kulit batang, buah. Ada juga yang menggunakan bahan dari tubuh hewan, seperti empedu kambing atau tangkur buaya. Jamu biasanya terasa pahit sehingga perlu ditambah madu sebagai pemanis agar rasanya lebih dapat ditoleransi peminumnya.
Di beberapa daerah terdapat profesi penjual jamu gendong dengan menggunakan bakul yang digendong di punggungnya dan berkeliling menjajakan jamu sebagai minuman yang sehat dan menyegarkan. Resep jamu gendong umumnya ada delapan macam, yaitu Beras Kencur, Kunyit Asem, Sinom, Cabe Puyang, Pahitan, Kunci Suruh, Kudu Laos, dan Uyup-uyup. Ada dua cara dalam membuat jamu gendong. Pertama dengan merebus semua bahan. Kedua dengan memeras sari yang ada kemudian mencampurnya dengan air matang.
Hampir semua penjual jamu menyediakan seluruh jenis jamu ini meskipun jumlah yang dibawa berbeda-beda sesuai dengan kebutuhan konsumen. Masing-masing jenis jamu disajikan untuk diminum tunggal atau dicampur satu jenis jamu dengan jenis yang lain. Selain menyediakan jamu gendong juga menyediakan jamu serbuk atau pil hasil produksi industri jamu. Jamu tersebut diminum dengan cara diseduh air panas, terkadang dicampur jeruk nipis, madu, kuning telor, dan selanjutnya minum jamu sinom atau kunir asam sebagai penyegar rasa.
Dari hasil wawancara yang peneliti peroleh dari seorang tukang jamu gendong, menjual jamu, selain untuk memperoleh penghasilan juga merupakan salah satu upaya untuk menjaga tradisi keluarganya yang sudah terjadi secara turun-temurun. Para peminat jamu gendong, tidak hanya dari kalangan orang tua saja tetapi juga dari anak kecil maupun remaja. Berdasarkan pengalamannya menjual jamu gendong selama hampir lima belas tahun, dia biasa berjalan sejauh dua belas sampai lima belas kilometer setiap hari. Mereka juga biasanya mengenakan pakaian berupa jarik atau kain dan kebaya.
Jumlah botol jamu yang ada pada bakul biasanya berjumlah tujuh sampai sebelas botol. Menurut tradisi, seorang penjual jamu gendong yang masih perawan, ia hanya boleh membawa tujuh botol. Sedangkan bagi mereka yang sudah menikah boleh membawa sampai sebelas botol.

3. Penutup
Penjual jamu gendong adalah suatu profesi yang masih terus dipertahankan karena warisan tradisi dari keluarganya secara turun temurun. Profesi ini masih terus bertahan hingga saat ini. Jamu yang mereka jual masih mempertahankan resep yang berasal dari alam. Meskipun kini telah banyak jamu dalam bentuk pil dan tablet serta yang berbentuk serbuk. Kebiasaan yang mereka lakukan pun masih sama yaitu memakai jarik dan kebaya serta menggendong bakul dan menarik para peminat jamu itu sendiri dengan penuh keramahan dan kesopanan.

4. Daftar Pustaka
Dyson, P.L., 1991. Penjaja jamu gendong (Studi kasus di Kotamadya Surabaya). Surabaya: Lembaga Penelitian Universitas Airlangga.
Wijayakusuma,Hembing; Setiawan Dalimartha, AS Wirian, 1993. Tanaman Berkhasiat Obat di Indonesia jilid ke-1, 2. Jakarta: Pustaka Kartini.
http://www.forumsains.com/kesehatan/tentang-jamu-dan-fitofarmaka/
http://www.tempo.co.id/medika/arsip/052001/art-1.htm
http://www.wikipedia.com/jamu

5. Lampiran
Wawancara Kepada Penjual Jamu Gendong
1. Nama mbak siapa?
Suryati, tapi orang-orang manggilnya mbak Sur.

2. Umur mbak berapa?
Berapa ya? 35 tahun.

3. Asalnya dari mana?
Yogyakarta.

4. Mbak udah nikah?
Udah. Punya satu anak laki-laki umurnya 13 tahun.

5. Sejak kapan mulai jualan jamu?
Udah 15 tahun yang lalu.

6. Kenapa milih profesi ini?
(ketawa) Kenapa ya? Ya, karena gak sekolah. Cuma tamatan SD, jadi pendidikannya rendah. Kan lumayan buat jadi tambahan penghasilan keluarga. Ini juga udah tradisi di keluarga saya. Setiap anak perempuan di keluarga saya, pasti jualan jamu semua.

7. Setiap hari, mulai jualan dari jam berapa?
Saya kalo jualan dua kali. Pagi sama sore. Kalo saya jualan pagi, mulai dari jam enam sampe setengah sebelas. Kalo saya jualan sore, dari jam tiga sampe jam lima.

8. Berapa jauh tiap harinya?
Berapa ya? Jauh juga sih. (ketawa) Kira-kira 10 sampe 12 kilo.
9. Pelanggan jamunya biasanya laki-laki atau perempuan?
Dua-duanya. Tapi kebanyakan perempuan.

10. Ada anak muda yang suka minum?
Ada. Mulai dari bayi sampe remaja. Semua umur deh.

11. Pendapatannya?
(ketawa) Yah, lumayanlah buat bantu suami saya. Suami saya kan jualan bakso sehari-harinya. Sekitar 50 ribu perhari.

12. Jamunya dibuat sendiri ato ada yang anter?
Yang ada di botol buat sendiri dari jam 4 pagi. Kalo jamu yang bungkusan beli di toko jamu. Dibuatnya tiap pagi pas mau berangkat jualan. Kalo jualan sore, bikin lagi jamunya.

13. Perasaan pertama kali pas jualan jamu?
Deg deg an. Takut kalo pelanggannya gak puas. Takut salah nuang jamu. Takut takut kalo jamunya gak laku.

14. Ada perasaan suka ato dukanya saat jualan jamu?
Dukanya? Yah, Alhamdulillah sejauh ini gak ada. Cuma perasaan laku apa gak ya jualan hari ini. Gitu aja. Awalnya gitu. Tapi pas pelanggannya udah banyak, ya enak aja jualannya. Jadi semangat. Sukanya? Bisa jalan keliling, ngobrol-ngobrol banyak sama kenalan. Soalnya kan saya jualannya jalan kaki. Dari rumah ke rumah. Seneng aja punya temen banyak. (ketawa) Kadang-kadang bisa denger berita macem-macem. Kayak si ibu ini selingkuh, suaminya bapak ini naik jabatan. Rumahnya si anu kemalingan. Wah, macem-macem deh.


15. Kenapa jualannya digendong? Gak pake gerobak ato netap gitu? Emang gak berat kalo digendong?
Ya, lumayan berat. Cuma kalo mau pake gerobak ato dorongan, jalannya belum bagus semua. Nanti kalo jalannya bagus, juga mau pake dorongan. Kalo jualan jamu netap itu, gimana ya, kurang laku gitu. Lebih enak digendong aja.

16. Jenis jamu apa aja yang dijual?
Banyak. Kalo yang dibikin sendiri kayak kunyit asem, beras kencur, sirih, kunyit temulawak, pahitan jamu godokan (rebusan). Kalo jamu yang dibungkus macem-macem lagi, kayak Sehat Pria, pegel linu, asem urat, Buyung Upik, Gadis Remaja. Banyak kalo bungkusan mah.

17. Penasaran, kenapa botol yang digendong ada sebelas? Itu kebetulan apa gimana?
Itu, apa ya namanya? Kayak kepercayaan gitu loh. Kan kalo orang tua jaman dulu bilang kalo yang jualan jamu orangnya masih perawan, belom nikah gitu, cuma boleh bawa botol tujuh pas jualan. Tapi kalo yang udah nikah, bawanya sebelas.

18. Kenapa pake pakaian kayak gini? (jarik dan kebaya)
Yah, kenapa ya? Emang pantesnya pake kayak gitu. Udah tradisi dari jaman dulu kalo tukang jamu gendong pake jarik sama kebaya. Ciri khas gitu. Kalo saya jualan pake celana sama kaos gak enak kayaknya. Kurang pantes aja.

19. Ada cara khusus buat narik pelanggan?
Gak ada. Yang biasa-biasa aja. Yang lurus, standar. Kayak jualan yang sopan, pake senyuman. Ramah lah sama pelanggan. Saya gak berani pake macem-macem, takut kualat sama Yang Diatas.

20. Harapan mbak sebagai tukang jamu?
(ketawa) Harapan? Apa ya? Paling ini aja, makin banyak langganan. (ketawa) Kan dulu orang-orang jarang yang suka sama jamu, alesannya pahit lah, ampasnya gak sehat lah, banyak deh. Tapi kalo sekarang Alhamdulillah, orang-orang udah banyak yang suka sama obat tradisional kayak jamu. Semoga aja jamu makin dilestarikan. Makin banyak yang jualan jamu. Semoga orang yang minum jamu saya sehat semua. Amin...

Wawancara Kepada Salah Satu Pelanggan
1. Nama ibu siapa?
Sumaryati.

2. Umurnya?
45 tahun.

3. Tinggalnya di mana?
Di Kampung Sawah Bojong Gede, Bogor.

4. Udah menikah?
Sudah. Punya dua anak. Perempuan dan laki-laki. Yang perempuan umurnya 20 tahun dan yang laki-laki 14 tahun.

5. Pekerjaan?
Ibu rumah tangga.

6. Ibu suka minum jamu?
Suka.

7. Sejak kapan?
Wah, udah lama. Mungkin sejak saya masih gadis.
8. Sama mbak Sur udah langganan sejak kapan?
Mm … mungkin sekitar 3 atau 4 tahun yang lalu. Dulu, sekitar tahun 2000, sempat langganan jamu juga tapi mbaknya pulang ke kampung terus gak jualan lagi. Sekarang susah cari tukang jamu gendong. Soalnya kalo jamu yang di toko-toko gitu rasanya beda.

9. Menurut ibu, jamu yang dibuat sama mbak Sur gimana?
Yah, yang pasti rasa jamu. Tapi kalo abis minum jamunya agak lumayan lah di badan. Badan kayaknya agak enakan.

10. Menurut ibu, mbak Sur orangnya seperti apa?
Kayak gimana ya? Mbak Sur itu orangnya baik, ramah, sopan. Mungkin karena kita berdua sama-sama dari Jawa. Dia Jawa Tengah, saya Jawa Timur jadi kalo ngobrol enak aja.

0 comments:

Post a Comment